Sabtu, 01 Oktober 2016

“Kisah Klasik Riana”



Lomba Penulisan Cerpen Umum


“Kisah Klasik Riana”


Oleh :
Misda Muriana


Riana dan dua sahabatnya sekarang sudah berada di gedung aula SMA Mulawarman Banjarmasin. Hari ini mereka di undang ke acara reuni akbar untuk seluruh angkatan.
            “Ri, aku sudah baca semua cerpenmu, wah keren banget! Malahan tanpa sadar aku menitikkan air mata” ucap Eno dengan semangat sambil memperlihatkan dua jempolnya.
            “Bentar lagi novel pertamanya bakal terbit!” celoteh Via sambil makan es krim favoritnya.
            “Beneran? Serius? Kapan?” semangat Eno yang tanpa sadar jadi perhatian semua orang.
            Riana dan Via pun langsung berdiri untuk menenangkan Eno tanpa dia sadari di tangannya sedang memegang sebuah garpu, terlihat seperti Eno akan melakukan sesuatu.
            “Beneran, Ri?” tanya Eno kembali dengan nada suara yang pelan sambil menundukkan wajahnya karena malu.
            Riana pun menganggukkan kepalanya.
            “Wah aku beneran baru tahu tentang berita ini, seharusnya aku orang pertama yang mengetahuinya!” kesal Eno sambil menancapkan garpunya tadi ke ayam goreng.
            Riana dan Via pun hanya tersenyum melihat tingkah Eno yang dari dulu sampai sekarang sikapnya tidak pernah berubah.
            “Jadi, perasaan kamu masih belum pernah berubah No? kamu masih kagum dengan sosok seorang perempuan yang bernama Riana Iskandar ini?” tanya Via penasaran.
            “Hu’um, belum pernah berubah!” jawab Eno mantap.
            “Terima kasih!” balas Riana sambil mengangkat gelas mengajak bersulang.

**********
           
Acara reuni akbar tersebut sangat sukses di gelar karena yang hadir mulai angkatan 80an sampai angkatan tahun 2015 kemarin, banyak para alumni yang membawa seluruh keluarga.
            Riana dan sahabatnya berjalan mengelilingi sekolah sambil bernostalgia mengingat cerita masa SMA, sekarang mereka sampai pada satu tempat yang bertuliskan ‘Perpustakaan’ senyuman terukir indah di wajah ketiga sahabat itu sangat tulus dan penuh makna. Di tempat itu mereka pertama kali bertemu, bukan untuk belajar tapi melihat majalah yang ada ramalan zodiaknya. Mereka dulu memang percaya dengan hal seperti itu tapi seiring bertambahnya usia, mulai berubah karena takut jadi orang syirik atau menyekutukan Tuhan.
            Lalu, tidak jauh dari tempat tersebut ada sebuah ruang musik yang sekarang ada tiga orang alumni yang berbeda angkatan sambil memegang mikrofon, gitar dan drum.
            “Wah sudah lama, ternyata tempat ini tidak terlalu banyak yang berubah” ucap Oren sambil duduk di kursi dekat drum.
            “Hu,um… sangat lama sekali!” jawab Angga sambil memetik senar gitar yang tergantung di dinding.
            “Di sinikan tempatnya, pertama kali kalian membentuk band indie?” tanya Ikhsan.
            “Benar meskipun sudah lama tapi, berasa baru kemarin kita sering begadang disini untuk membuat lagu. Iyakan Ga?” terang Oren sambil memegang stik drum kemudian mulai dia tabuhkan.
            Lamunan Riana, Via dan Eno tersadar saat mendengar bunyi tabuhan drum dari jauh.
            “Bukankah di seberang sana ruang musik?” tanya Riana menoleh ke belakang.
            “Iya sepertinya benar, ternyata tempatnya tidak berubah” balas Via ikutan menoleh.
            “Hhm… bukannya kamu dulu pernah jadi vokalis Ri, pas acara ultahnya sekolah?” ucap Eno mencoba mengingat.
            “Owh iya dulu, ternyata sudah sangat lama!” jawab Riana sambil membayangkan masa lalu.

**********

Angga, Oren dan Ikhsan mereka bertiga keluar dari ruang musik dengan penuh kebahagiaan dan disaat yang bersamaan Riana, Via dan Eno masuk ke ruang perpustakaan tanpa sengaja pandangan mata Angga sekilas melihat sosok wajah Riana yang dibalut dengan kerudung berwarna biru. Hatinya berdesir penasaran dengan perempuan itu?
           
Oren merangkul bahu Angga dan Ikhsan mengajak mereka untuk pergi dan di seberang sana Via menggandeng tangan Riana mengajak untuk masuk ke dalam perpustakaan, tanpa sengaja Riana menoleh ke belakang yang terlihat hanya punggung tiga orang laki-laki berjalan bersama.

**********
           
Riana dan sahabatnya sudah berada di luar sekolah, hampir semua alumni sudah pulang bersama teman-teman dan keluarga. Hari ini mereka bertiga memang sepakat saat datang dan pulang dari sekolah harus menggunakan angkutan kota, kata Eno biar nostalgia anak SMAnya lebih berasa. Maka sambil berjalan menuju halte sekolah, mereka bertiga benar-benar bercanda serta tertawa bersama sambil bercerita tentang masa sekolah dulu.
            Di atas atap halte sekolah ada sebuah layang-layang dengan perlahan Via melompat untuk menarik benang yang putus namun karena benangnya diterpa oleh angin, Eno pun dengan percaya diri menggantikan posisi Via dan dengan beberapa lompatan layang-layang itu sudah ada dalam genggamannya. Riana dan Via pun tanpa sadar bertepuk tangan, beruntung saat itu tidak ada orang yang melihat jadi mereka tidak akan disebut ‘masa kecil kurang bahagia’ karena malah sebaliknya masa kecil ketiga sahabat itu sangat bahagia.
            Di tangan Via sudah memegang layang-layang tersebut, dia memaksa Riana dan Eno untuk pulang berjalan kaki agar layang-layang itu nanti bisa dia terbangkan. Awalnya Riana dan Eno menyetujuinya tapi ketika melihat ekspresi Via yang sangat bahagia saat berjalan sambil memegang layang-layang yang perlahan ditiup angin. Riana dan Eno mulai malu karena pandangan mata orang-orang tertuju kepada mereka bertiga.
            Riana mengasih kode ke Eno untuk berjalan mendahului Via tapi malah Via berteriak dan mencoba untuk mengejar mereka berdua. Kejar-kejaranpun akhirnya terjadi, ketiga sahabat itu seperti anak kecil tapi tidak seperti anak kecil pada umumnya karena usia mereka makin bertambah lari jauhpun mereka sudah ngos-ngosan dan sekarang mereka duduk di sebuah kursi yang berdekatan dengan lapangan basket, tidak jauh dari sana ada sebuah cafe yang baru buka.
            “Ya ampun Via, bagaimana bisa seorang perempuan sangat suka dengan layang-layang!” keluh Eno sambil duduk menarik napasnya berulang kali.
            “Ingat kenangan masa kecil ya, Vi?” jelas Riana yang juga beberapa kali menarik napas sambil mengambil tissue dalam tasnya.
            “Jawaban dari Riana benar, ternyata cara pandang seorang penulis memang beda!” balas Via sambil mengikat benang layang-layang di kursi kemudian ikut mengambil tissue di tangan Riana untuk melap keringat diwajahnya. Ketiga sahabat itu tertawa bersama, bukankah bahagia itu sederhana.
            “Aku haus!” ucap Riana sambil berdiri kemudian menghadap kedua sahabatnya.
            “Sana No, pergi beli minuman!” suruh Via sambil mendorong bahu Eno.  
            “Aku juga haus, kamu saja yang beli Vi?” balas Eno yang masih melap wajahnya.
            “Kita pergi kesana saja!” saran Riana sambil membalikkan badannya dan menunjuk ke sebuah cafe yang berseberangan dengan tempat duduk.

**********

Cafe coffee cappuccino, tempat nongkrongnya kawula muda yang dilengkapi dengan fasilitas wifi serta terdengar alunan lagu The April berjudul teman seperjuangan yang jadi backsound.
            Angga, Oren dan Ikhsan sudah memesan tiga minuman dan sekarang mereka sedang duduk berdekatan dengan jendela yang menghadap langsung ke jalan. Kaca di cafe tersebut transparan jadi ketiga orang itu bisa dengan jelas melihat di luar cafe.
            “Angga, apa yang kamu lihat dari tadi senyam senyum sendiri?” tanya Oren baru duduk setelah mengambil pesanan.
            “Kebahagiaan!” jawab Angga singkat.
            Oren terkejut dengan jawaban Angga, pandangannyapun tertuju ke luar. Dia melihat dua orang perempuan berkerudung dan seorang laki-laki tertawa bersama.
“Apa yang sedang kalian lihat, sepertinya sangat menarik?” giliran Ikhsan yang bertanya setelah keluar dari toilet.
            “Kebahagiaan!” jawab Angga dan Oren bersamaan masih menatap ke luar cafe.
            “Si perempuan berkerudung biru!” ucap Ikhsan yang masih berdiri ikutan memandang ke arah luar.
            “Hah? Siapa?” tanya Angga dan Oren sambil menoleh bersamaan.
            “Hhm… perasaan perempuan berkerudung  biru itu pernah lihat sebelumnya, tapi dimana ya?” tebak Ikhsan sambil menaruh tangan di kepalanya untuk berpikir.
            “Kirain kenal!” jawab Angga dan Oren lagi sambil melanjutkan pandangan mereka.
            “Kira-kira apa yang mereka tertawakan ya?” tanya Angga tetap pada posisi dan pandangan mata ke luar.
            “Kenapa bisa ada seorang perempuan yang suka bermain dengan layang-layang?” Oren juga bertanya dengan posisi yang sama.
            Sedangkan Ikhsan hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil menatap kedua wajah teman-temannya.
            “Sepertinya aku memang pernah melihat perempuan itu, tapi dimana ya?” tebak Ikhsan kembali sambil menggaruk kepalanya.
Oren pun langsung mengambil kue brownies kemudian menyumpal mulut Ikhsan supaya tidak banyak bicara.
“Perempuan itu? Tanganya menunjuk ke arah sini!” ucap Angga.
“Sepertinya ke arahmu, Ga?” balas Oren.
“Benarkah, benarkah itu aku!” jawab Angga tersenyum.
“Bukan! Yang perempuan itu maksud adalah cafe ini, dia menunjuk karena haus setelah tertawa!” komentar Ikhsan dengan wajah santai.
Angga dan Oren pun langsung mengambil minuman mereka sambil memperlihatkan wajah yang cuek.

**********

Saat menuju cafe, tepat di depan pintu handphone Riana berbunyi. Diapun menerima telponnya di luar dengan memperlihatkan berbagai ekspresi dan tanpa Riana sadari Angga sangat jelas bisa melihat wajahnya. Perempuan itu membuat hatinya berdesir kembali.
            “Telepon dari siapa, Ri?” tanya Via penasaran.
            “Owh, telepon dari mba Maya.”
            Riana bilang bahwa novelnya sebentar lagi akan terbit dan beredar di toko buku, sontak ke dua sahabatnya kegirangan dan minta traktir dengan senang hati Riana menerima permintaan mereka.
            “Riana! Kamu Riana kan, Riana Iskandar?” tanya Ikhsan yang sekarang sedang berdiri diantara mereka bertiga.
            “Ikh…san…!” jawab Riana dengan terbata.
            Angga dan Oren pun terkejut saat mendengar jawaban itu, bagaimana bisa perempuan itu kenal dengan Ikhsan?

**********

Sekarang ke-6 orang itu sedang duduk bersama, dipikiran mereka sekarang telah dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. Terutama Via dan Eno, bagaimana bisa Riana bisa kenal ke-3 orang yang ada dihadapan mereka.
            “Jadi, siapa dulu yang akan bertanya?” ucap Riana dengan santai.
            “Aku duluan!” kata Ikhsan semangat sambil mengangkat tangan. “Benarkan kamu Riana?” tanya Ikhsan yang diikuti dengan pandangan Angga dan Oren.
            “Benar, saya Riana Iskandar!”
            “Kamu tahukan siapa kami?” tanya Ikhsan kembali.
“Hhm, aku tahu!”
            “Siapa, Ri?” bisik Via penasaran.
            “Mereka adalah personil The April. Ikhsan, Angga dan Oren!” jelas Riana sambil melihat wajah mereka satu persatu dan ketiganyapun mengangguk dengan tersenyum.
            “Sekarang giliranku yang bertanya, apa kalian bertiga alumni dari SMA Mulawarman?”
            “Benar!” jawab ketiga personil TheApril itu serempak.
            “Wah, ternyata ini adalah takdir. Takdirku bisa bertemu kalian” semangat Via sambil mengambil kertas untuk minta tanda tangan.
            Riana hanya bisa tersenyum melihat tingkah sahabatnya dan tanpa sadar pandangan mata Riana dan Angga saling menatap lalu menunduk.
            “Cerpen kamu bagus Ri, kami tidak menyangka kamu membuatnya khusus untuk The April” ucap Oren.
            “Iya Ri, aku pikir itu semua nyata ternyata hanya cerita fiksi. Iyakan bang Angga!” terang Ikhsan sambil memandang Riana kemudian ke Angga.
            Angga pun mengangguk tersenyum sambil menyedot minumannya.
            “Sebentar lagi novelnya juga akan terbit!” celoteh Via.
            “Beneran Ri, ceritanya tentang apa? apa mungkin tentang The April lagi?” tanya Ikhsan penasaran.
            “Rahasia!” jawab Riana singkat sambil menyedot minumannya.
            Ketiga personil itupun terduduk lemas saat mendengarnya. Via juga memberikan pernyataan kalau mereka mau tahu ceritanya lebih lengkap harus beli novelnya apalagi kedua sahabatnya juga belum pernah baca, namun yang Via tahu cerita karakter dalam novel Riana tentang seorang mahasiswa dari Kedokteran, Pertanian dan Arsitektur.
            “Arsitektur? Bukannya bang Angga lulusan Arsitek?” jawab Ikhsan spontan.
            “Riana juga lulusan Pertanian?” balas Via.
            Sontak mereka semua memandang ke arah Angga kemudian menoleh pada Riana secara bersamaan. Riana dan Angga pun hanya menyentingkan bahu sambil duduk tenang menyedot minuman.
            “Wah, ini sungguh mencurigakan!” selidik Via.
            “Sangat-sangat mencurigakan!” tambah Ikhsan sambil menyilangkan kedua tangannya dan menatap wajah Angga yang tanpa ekspresi.

**********

Sesampai di rumah, Angga langsung membuka laptopnya yang searching ke media social. Angga melihat di inbox facebook dan twitter banyak sekali pesan yang masuk dari Riana. Pesan itu sudah dua tahun yang lalu dan selama itu pula tidak ada satupun pesan yang Angga balas, makanya Angga tidak heran kenapa ekspresi wajah Riana tiba-tiba berubah.
            “Aku sudah mengecewakannya!” kata Angga.
            Berulang kali Angga mencoba untuk mengetik kata maaf agar bisa dikirim ke Riana tapi niat itu selalu dia urungkan karena pasti tidak akan semudah itu Riana memaafkannya.
            Begitupun dengan Riana yang juga menatap layar laptopnya dan membaca semua inbox yang pernah dia kirimkan. Beberapa pikiran campur aduk di otak Riana, apa yang harus dia lakukan dengan pesan-pesan itu? Isi pesan itu bukan hal yang formal. Riana hanya ingin bertanya tentang Arsitektur, fakultas yang pernah dijalani Angga saat masih kuliah dan Riana pun bilang perlu pemateri yang bagus untuk bahan tulisan novelnya. Setelah berapa menit kemudian semua pesan-pesan itu sudah Riana hapus dan tanpa dia ketahui Angga terkejut melihatnya.

**********

1 minggu kemudian di cafe yang sama, Angga duduk sambil membuka laptopnya dilengkapi earphone yang terpasang dikedua telinganya kemudian pandangannya mengarah ke luar cafe.
“Riana!” ucap Angga lirih.
Pandangan mata Angga belum berhenti memperhatikan Riana yang selalu tersenyum sampai masuk ke dalam cafe. Riana bertemu dengan seorang perempuan paruh baya yang menunggunya duduk di kursi panjang yang sama seperti minggu lalu.
Assalamu’alaikum, maaf mba. Riana datang terlambat” sapa Riana sambil menjabat tangan.
Perempuan paruh baya itu adalah mba Maya, manager yang menerbitkan novel Riana. Dia menyerahkan lima buah buku novel yang sudah terbit di atas meja kemudian mengeluarkan sebuah amplop yang berisi beberapa lembar kertas yang harus Riana tanda tangani. Mba Maya mengatakan kalau novel itu hadiah dari penerbit, minggu depan rilis novelnya akan di adakan di salah satu toko buku yang ada di Banjarmasin.
“Oya, Ri. Cerpenmu tentang band The April, apa kamu beneran tidak ada niatan untuk di terbitkan?” tanya mba Maya meyakinkan.
“Hhm, belum tahu mba. Cerpen itu sepenuhnya bukan tanggung jawab saya karena saya menggunakan nama mereka, jadi saya harus minta izin terlebih dahulu!” jelas Riana tulus dan seketika pandangan mata Angga langsung menatap ke arah Riana yang sedari tadi dia sudah mendengarkan percakapan mereka berdua.
“Oya sekitar 1 bulan yang lalu saat mba mampir ke kantormu tanpa sengaja mba melihat tiga buah foto yang tertempel di dinding kalau tidak salah itu foto Mekkah, Korea dan Venice” kata mba Maya penasaran.
Saat mendengar kata ‘Venice’ jantung Angga langsung berdebar, ekspresi wajahnya semakin tegang penuh dengan rasa penasaran sedangkan Riana hanya membalas dengan senyuman, senyuman yang penuh dengan tanda tanya.
“Jangan… jangan, ketiga tempat itu akan jadi cerita novelmu selanjutnya ya?” tebak mba Maya.
“Rahasia!” jawab Riana singkat sambil tersenyum kembali.
“Dasar kamu ini selalu penuh dengan rahasia tapi tidak apa-apa, suatu saat nanti itu akan jadi rahasia yang luar biasa” celoteh mba Maya sambil memasukkan barangnya ke dalam tas.
“Ingat! Jangan sampai lupa, segera hubungi personil The April dan minta persetujuan mereka kalau tidak…” kata-kata mba Maya langsung terhenti saat mendengar seorang laki-laki datang memotong pembicaannya.
“Kami setuju!” ucap Angga mantap yang berdiri di antara Riana dan mba Maya.
“Kak Angga” kata Riana dengan wajah terkejut.
“Perkenalkan nama saya Angga salah satu personil The April, kami sangat setuju kalau semua cerpen Riana tentang The April akan di terbitkan!” jelas Angga tegas sambil tersenyum.
Riana hanya bisa terdiam serta tidak percaya dengan apa yang baru saja dia lihat “Laki-laki ini sungguh misterius” ucap Riana dalam hati.
Mba Maya juga memperkenalkan dirinya sambil menyerahkan kartu nama tapi dia harus pergi sehingga tidak bisa berbicara banyak dengan Angga, jadilah sekarang Riana dan Angga duduk berseberangan sambil di iringi dengan lagunya The April ‘Tunjuk Aku’ yang terdengar di dalam cafe.
Tatapan Angga tertuju serius kepada Riana sedangkan Riana hanya bisa menunduk sambil bertasbih di dalam hati. Riana sama sekali bingung apa yang harus dia lakukan pada laki-laki yang ada dihadapannya, haruskah dia mengambil tasnya dan berlari pergi?
“Maaf” ucap Angga pelan.
“Maaf dan terima kasih, Riana!” kata Angga lagi dengan tatapan yang tulus.
“Untuk apa?” jawab Riana bingung.
“Untuk semuanya, maaf karena selama ini aku tidak pernah membalas pesan-pesanmu dan terima kasih selama ini sudah bersedia membuat cerpen tentang The April!”
Riana dan Angga pun saling tersenyum tanpa kata dan hanya hati mereka saja yang saling berbicara bahwa akhir kisah ini sudah selesai.

**********




Catatan :
Meskipun semua cerita ini tidak nyata tapi aku bisa berkhayal dengan imajinasiku, dengan tulisan aku bisa menembus batas dan waktu tanpa ada halangan dan tanpa perlu izin pada siapapun kecuali pada Sang Kholiq, Sang pemilik imajinasi Maha karya-NYA yang sangat luar biasa, tanpa-NYA aku bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Tanpa-NYA aku hanya seorang hamba yang banyak kekurangan dan dosa, Terima kasih.

Specially dedicated for :
The April end TemanSeperjuanganTheApril
Banjarmasin, 01 Mei 2016
Edit : 30 Agustus 2016