Lomba Penulisan Cerpen
Umum
“Kisah Klasik Riana”
Oleh :
Misda
Muriana
Riana
dan dua sahabatnya sekarang sudah berada di gedung aula SMA Mulawarman
Banjarmasin. Hari ini mereka di undang ke acara reuni akbar untuk seluruh
angkatan.
“Ri, aku sudah baca semua cerpenmu,
wah keren banget! Malahan tanpa sadar aku menitikkan air mata” ucap Eno dengan
semangat sambil memperlihatkan dua jempolnya.
“Bentar lagi novel pertamanya bakal
terbit!” celoteh Via sambil makan es krim favoritnya.
“Beneran? Serius? Kapan?” semangat
Eno yang tanpa sadar jadi perhatian semua orang.
Riana dan Via pun langsung berdiri
untuk menenangkan Eno tanpa dia sadari di tangannya sedang memegang sebuah
garpu, terlihat seperti Eno akan melakukan sesuatu.
“Beneran, Ri?” tanya Eno kembali
dengan nada suara yang pelan sambil menundukkan wajahnya karena malu.
Riana pun menganggukkan kepalanya.
“Wah aku beneran baru tahu tentang
berita ini, seharusnya aku orang pertama yang mengetahuinya!” kesal Eno sambil
menancapkan garpunya tadi ke ayam goreng.
Riana dan Via pun hanya tersenyum
melihat tingkah Eno yang dari dulu sampai sekarang sikapnya tidak pernah
berubah.
“Jadi, perasaan kamu masih belum
pernah berubah No? kamu masih kagum dengan sosok seorang perempuan yang bernama
Riana Iskandar ini?” tanya Via penasaran.
“Hu’um, belum pernah berubah!” jawab
Eno mantap.
“Terima kasih!” balas Riana sambil
mengangkat gelas mengajak bersulang.
**********
Acara
reuni akbar tersebut sangat sukses di gelar karena yang hadir mulai angkatan
80an sampai angkatan tahun 2015 kemarin, banyak para alumni yang membawa
seluruh keluarga.
Riana dan sahabatnya berjalan
mengelilingi sekolah sambil bernostalgia mengingat cerita masa SMA, sekarang
mereka sampai pada satu tempat yang bertuliskan ‘Perpustakaan’ senyuman terukir
indah di wajah ketiga sahabat itu sangat tulus dan penuh makna. Di tempat itu
mereka pertama kali bertemu, bukan untuk belajar tapi melihat majalah yang ada
ramalan zodiaknya. Mereka dulu memang percaya dengan hal seperti itu tapi
seiring bertambahnya usia, mulai berubah karena takut jadi orang syirik atau
menyekutukan Tuhan.
Lalu, tidak jauh dari tempat
tersebut ada sebuah ruang musik yang sekarang ada tiga orang alumni yang
berbeda angkatan sambil memegang mikrofon, gitar dan drum.
“Wah sudah lama, ternyata tempat ini
tidak terlalu banyak yang berubah” ucap Oren sambil duduk di kursi dekat drum.
“Hu,um… sangat lama sekali!” jawab
Angga sambil memetik senar gitar yang tergantung di dinding.
“Di sinikan tempatnya, pertama kali
kalian membentuk band indie?” tanya Ikhsan.
“Benar meskipun sudah lama tapi,
berasa baru kemarin kita sering begadang disini untuk membuat lagu. Iyakan Ga?”
terang Oren sambil memegang stik drum kemudian mulai dia tabuhkan.
Lamunan Riana, Via dan Eno tersadar
saat mendengar bunyi tabuhan drum dari jauh.
“Bukankah di seberang sana ruang
musik?” tanya Riana menoleh ke belakang.
“Iya sepertinya benar, ternyata
tempatnya tidak berubah” balas Via ikutan menoleh.
“Hhm… bukannya kamu dulu pernah jadi
vokalis Ri, pas acara ultahnya sekolah?” ucap Eno mencoba mengingat.
“Owh iya dulu, ternyata sudah sangat
lama!” jawab Riana sambil membayangkan masa lalu.
**********
Angga,
Oren dan Ikhsan mereka bertiga keluar dari ruang musik dengan penuh kebahagiaan
dan disaat yang bersamaan Riana, Via dan Eno masuk ke ruang perpustakaan tanpa
sengaja pandangan mata Angga sekilas melihat sosok wajah Riana yang dibalut
dengan kerudung berwarna biru. Hatinya berdesir penasaran dengan perempuan itu?
Oren
merangkul bahu Angga dan Ikhsan mengajak mereka untuk pergi dan di seberang
sana Via menggandeng tangan Riana mengajak untuk masuk ke dalam perpustakaan,
tanpa sengaja Riana menoleh ke belakang yang terlihat hanya punggung tiga orang
laki-laki berjalan bersama.
**********
Riana
dan sahabatnya sudah berada di luar sekolah, hampir semua alumni sudah pulang
bersama teman-teman dan keluarga. Hari ini mereka bertiga memang sepakat saat
datang dan pulang dari sekolah harus menggunakan angkutan kota, kata Eno biar
nostalgia anak SMAnya lebih berasa. Maka sambil berjalan menuju halte sekolah,
mereka bertiga benar-benar bercanda serta tertawa bersama sambil bercerita
tentang masa sekolah dulu.
Di atas atap halte sekolah ada
sebuah layang-layang dengan perlahan Via melompat untuk menarik benang yang
putus namun karena benangnya diterpa oleh angin, Eno pun dengan percaya diri
menggantikan posisi Via dan dengan beberapa lompatan layang-layang itu sudah
ada dalam genggamannya. Riana dan Via pun tanpa sadar bertepuk tangan,
beruntung saat itu tidak ada orang yang melihat jadi mereka tidak akan disebut
‘masa kecil kurang bahagia’ karena malah sebaliknya masa kecil ketiga sahabat
itu sangat bahagia.
Di tangan Via sudah memegang
layang-layang tersebut, dia memaksa Riana dan Eno untuk pulang berjalan kaki
agar layang-layang itu nanti bisa dia terbangkan. Awalnya Riana dan Eno
menyetujuinya tapi ketika melihat ekspresi Via yang sangat bahagia saat
berjalan sambil memegang layang-layang yang perlahan ditiup angin. Riana dan
Eno mulai malu karena pandangan mata orang-orang tertuju kepada mereka bertiga.
Riana mengasih kode ke Eno untuk
berjalan mendahului Via tapi malah Via berteriak dan mencoba untuk mengejar
mereka berdua. Kejar-kejaranpun akhirnya terjadi, ketiga sahabat itu seperti
anak kecil tapi tidak seperti anak kecil pada umumnya karena usia mereka makin
bertambah lari jauhpun mereka sudah ngos-ngosan dan sekarang mereka duduk di
sebuah kursi yang berdekatan dengan lapangan basket, tidak jauh dari sana ada
sebuah cafe yang baru buka.
“Ya ampun Via, bagaimana bisa
seorang perempuan sangat suka dengan layang-layang!” keluh Eno sambil duduk
menarik napasnya berulang kali.
“Ingat kenangan masa kecil ya, Vi?”
jelas Riana yang juga beberapa kali menarik napas sambil mengambil tissue dalam
tasnya.
“Jawaban dari Riana benar, ternyata
cara pandang seorang penulis memang beda!” balas Via sambil mengikat benang
layang-layang di kursi kemudian ikut mengambil tissue di tangan Riana untuk
melap keringat diwajahnya. Ketiga sahabat itu tertawa bersama, bukankah bahagia
itu sederhana.
“Aku haus!” ucap Riana sambil
berdiri kemudian menghadap kedua sahabatnya.
“Sana No, pergi beli minuman!” suruh
Via sambil mendorong bahu Eno.
“Aku juga haus, kamu saja yang beli
Vi?” balas Eno yang masih melap wajahnya.
“Kita pergi kesana saja!” saran
Riana sambil membalikkan badannya dan menunjuk ke sebuah cafe yang
berseberangan dengan tempat duduk.
**********
Cafe
coffee cappuccino, tempat nongkrongnya kawula muda yang dilengkapi dengan
fasilitas wifi serta terdengar alunan lagu The April berjudul teman
seperjuangan yang jadi backsound.
Angga, Oren dan Ikhsan sudah memesan
tiga minuman dan sekarang mereka sedang duduk berdekatan dengan jendela yang
menghadap langsung ke jalan. Kaca di cafe tersebut transparan jadi ketiga orang
itu bisa dengan jelas melihat di luar cafe.
“Angga, apa yang kamu lihat dari
tadi senyam senyum sendiri?” tanya Oren baru duduk setelah mengambil pesanan.
“Kebahagiaan!” jawab Angga singkat.
Oren terkejut dengan jawaban Angga,
pandangannyapun tertuju ke luar. Dia melihat dua orang perempuan berkerudung
dan seorang laki-laki tertawa bersama.
“Apa
yang sedang kalian lihat, sepertinya sangat menarik?” giliran Ikhsan yang
bertanya setelah keluar dari toilet.
“Kebahagiaan!” jawab Angga dan Oren
bersamaan masih menatap ke luar cafe.
“Si perempuan berkerudung biru!”
ucap Ikhsan yang masih berdiri ikutan memandang ke arah luar.
“Hah? Siapa?” tanya Angga dan Oren
sambil menoleh bersamaan.
“Hhm… perasaan perempuan
berkerudung biru itu pernah lihat
sebelumnya, tapi dimana ya?” tebak Ikhsan sambil menaruh tangan di kepalanya
untuk berpikir.
“Kirain kenal!” jawab Angga dan Oren
lagi sambil melanjutkan pandangan mereka.
“Kira-kira apa yang mereka
tertawakan ya?” tanya Angga tetap pada posisi dan pandangan mata ke luar.
“Kenapa bisa ada seorang perempuan
yang suka bermain dengan layang-layang?” Oren juga bertanya dengan posisi yang
sama.
Sedangkan Ikhsan hanya bisa
menggelengkan kepalanya sambil menatap kedua wajah teman-temannya.
“Sepertinya aku memang pernah
melihat perempuan itu, tapi dimana ya?” tebak Ikhsan kembali sambil menggaruk
kepalanya.
Oren
pun langsung mengambil kue brownies kemudian menyumpal mulut Ikhsan supaya tidak
banyak bicara.
“Perempuan
itu? Tanganya menunjuk ke arah sini!” ucap Angga.
“Sepertinya
ke arahmu, Ga?” balas Oren.
“Benarkah,
benarkah itu aku!” jawab Angga tersenyum.
“Bukan!
Yang perempuan itu maksud adalah cafe ini, dia menunjuk karena haus setelah
tertawa!” komentar Ikhsan dengan wajah santai.
Angga
dan Oren pun langsung mengambil minuman mereka sambil memperlihatkan wajah yang
cuek.
**********
Saat
menuju cafe, tepat di depan pintu handphone Riana berbunyi. Diapun menerima
telponnya di luar dengan memperlihatkan berbagai ekspresi dan tanpa Riana
sadari Angga sangat jelas bisa melihat wajahnya. Perempuan itu membuat hatinya
berdesir kembali.
“Telepon dari siapa, Ri?” tanya Via
penasaran.
“Owh, telepon dari mba Maya.”
Riana bilang bahwa novelnya sebentar
lagi akan terbit dan beredar di toko buku, sontak ke dua sahabatnya kegirangan
dan minta traktir dengan senang hati Riana menerima permintaan mereka.
“Riana! Kamu Riana kan, Riana
Iskandar?” tanya Ikhsan yang sekarang sedang berdiri diantara mereka bertiga.
“Ikh…san…!” jawab Riana dengan
terbata.
Angga dan Oren pun terkejut saat
mendengar jawaban itu, bagaimana bisa perempuan itu kenal dengan Ikhsan?
**********
Sekarang
ke-6 orang itu sedang duduk bersama, dipikiran mereka sekarang telah dipenuhi
dengan berbagai pertanyaan. Terutama Via dan Eno, bagaimana bisa Riana bisa
kenal ke-3 orang yang ada dihadapan mereka.
“Jadi, siapa dulu yang akan
bertanya?” ucap Riana dengan santai.
“Aku duluan!” kata Ikhsan semangat
sambil mengangkat tangan. “Benarkan kamu Riana?” tanya Ikhsan yang diikuti
dengan pandangan Angga dan Oren.
“Benar, saya Riana Iskandar!”
“Kamu tahukan siapa kami?” tanya
Ikhsan kembali.
“Hhm,
aku tahu!”
“Siapa, Ri?” bisik Via penasaran.
“Mereka adalah personil The April.
Ikhsan, Angga dan Oren!” jelas Riana sambil melihat wajah mereka satu persatu
dan ketiganyapun mengangguk dengan tersenyum.
“Sekarang giliranku yang bertanya,
apa kalian bertiga alumni dari SMA Mulawarman?”
“Benar!” jawab ketiga personil
TheApril itu serempak.
“Wah, ternyata ini adalah takdir.
Takdirku bisa bertemu kalian” semangat Via sambil mengambil kertas untuk minta
tanda tangan.
Riana hanya bisa tersenyum melihat
tingkah sahabatnya dan tanpa sadar pandangan mata Riana dan Angga saling
menatap lalu menunduk.
“Cerpen kamu bagus Ri, kami tidak
menyangka kamu membuatnya khusus untuk The April” ucap Oren.
“Iya Ri, aku pikir itu semua nyata
ternyata hanya cerita fiksi. Iyakan bang Angga!” terang Ikhsan sambil memandang
Riana kemudian ke Angga.
Angga pun mengangguk tersenyum
sambil menyedot minumannya.
“Sebentar lagi novelnya juga akan
terbit!” celoteh Via.
“Beneran Ri, ceritanya tentang apa?
apa mungkin tentang The April lagi?” tanya Ikhsan penasaran.
“Rahasia!” jawab Riana singkat
sambil menyedot minumannya.
Ketiga personil itupun terduduk
lemas saat mendengarnya. Via juga memberikan pernyataan kalau mereka mau tahu
ceritanya lebih lengkap harus beli novelnya apalagi kedua sahabatnya juga belum
pernah baca, namun yang Via tahu cerita karakter dalam novel Riana tentang
seorang mahasiswa dari Kedokteran, Pertanian dan Arsitektur.
“Arsitektur? Bukannya bang Angga
lulusan Arsitek?” jawab Ikhsan spontan.
“Riana juga lulusan Pertanian?”
balas Via.
Sontak mereka semua memandang ke
arah Angga kemudian menoleh pada Riana secara bersamaan. Riana dan Angga pun
hanya menyentingkan bahu sambil duduk tenang menyedot minuman.
“Wah, ini sungguh mencurigakan!”
selidik Via.
“Sangat-sangat mencurigakan!” tambah
Ikhsan sambil menyilangkan kedua tangannya dan menatap wajah Angga yang tanpa
ekspresi.
**********
Sesampai
di rumah, Angga langsung membuka laptopnya yang searching ke media social.
Angga melihat di inbox facebook dan twitter banyak sekali pesan yang masuk dari
Riana. Pesan itu sudah dua tahun yang lalu dan selama itu pula tidak ada
satupun pesan yang Angga balas, makanya Angga tidak heran kenapa ekspresi wajah
Riana tiba-tiba berubah.
“Aku sudah mengecewakannya!” kata
Angga.
Berulang kali Angga mencoba untuk
mengetik kata maaf agar bisa dikirim ke Riana tapi niat itu selalu dia urungkan
karena pasti tidak akan semudah itu Riana memaafkannya.
Begitupun dengan Riana yang juga
menatap layar laptopnya dan membaca semua inbox yang pernah dia kirimkan.
Beberapa pikiran campur aduk di otak Riana, apa yang harus dia lakukan dengan
pesan-pesan itu? Isi pesan itu bukan hal yang formal. Riana hanya ingin
bertanya tentang Arsitektur, fakultas yang pernah dijalani Angga saat masih
kuliah dan Riana pun bilang perlu pemateri yang bagus untuk bahan tulisan
novelnya. Setelah berapa menit kemudian semua pesan-pesan itu sudah Riana hapus
dan tanpa dia ketahui Angga terkejut melihatnya.
**********
1
minggu kemudian di cafe yang sama, Angga duduk sambil membuka laptopnya
dilengkapi earphone yang terpasang dikedua telinganya kemudian pandangannya
mengarah ke luar cafe.
“Riana!”
ucap Angga lirih.
Pandangan
mata Angga belum berhenti memperhatikan Riana yang selalu tersenyum sampai
masuk ke dalam cafe. Riana bertemu dengan seorang perempuan paruh baya yang
menunggunya duduk di kursi panjang yang sama seperti minggu lalu.
“Assalamu’alaikum, maaf mba. Riana datang
terlambat” sapa Riana sambil menjabat tangan.
Perempuan
paruh baya itu adalah mba Maya, manager yang menerbitkan novel Riana. Dia
menyerahkan lima buah buku novel yang sudah terbit di atas meja kemudian
mengeluarkan sebuah amplop yang berisi beberapa lembar kertas yang harus Riana
tanda tangani. Mba Maya mengatakan kalau novel itu hadiah dari penerbit, minggu
depan rilis novelnya akan di adakan di salah satu toko buku yang ada di
Banjarmasin.
“Oya,
Ri. Cerpenmu tentang band The April, apa kamu beneran tidak ada niatan untuk di
terbitkan?” tanya mba Maya meyakinkan.
“Hhm,
belum tahu mba. Cerpen itu sepenuhnya bukan tanggung jawab saya karena saya
menggunakan nama mereka, jadi saya harus minta izin terlebih dahulu!” jelas
Riana tulus dan seketika pandangan mata Angga langsung menatap ke arah Riana
yang sedari tadi dia sudah mendengarkan percakapan mereka berdua.
“Oya
sekitar 1 bulan yang lalu saat mba mampir ke kantormu tanpa sengaja mba melihat
tiga buah foto yang tertempel di dinding kalau tidak salah itu foto Mekkah,
Korea dan Venice” kata mba Maya penasaran.
Saat
mendengar kata ‘Venice’ jantung Angga langsung berdebar, ekspresi wajahnya
semakin tegang penuh dengan rasa penasaran sedangkan Riana hanya membalas
dengan senyuman, senyuman yang penuh dengan tanda tanya.
“Jangan…
jangan, ketiga tempat itu akan jadi cerita novelmu selanjutnya ya?” tebak mba
Maya.
“Rahasia!”
jawab Riana singkat sambil tersenyum kembali.
“Dasar
kamu ini selalu penuh dengan rahasia tapi tidak apa-apa, suatu saat nanti itu
akan jadi rahasia yang luar biasa” celoteh mba Maya sambil memasukkan barangnya
ke dalam tas.
“Ingat!
Jangan sampai lupa, segera hubungi personil The April dan minta persetujuan
mereka kalau tidak…” kata-kata mba Maya langsung terhenti saat mendengar
seorang laki-laki datang memotong pembicaannya.
“Kami
setuju!” ucap Angga mantap yang berdiri di antara Riana dan mba Maya.
“Kak
Angga” kata Riana dengan wajah terkejut.
“Perkenalkan
nama saya Angga salah satu personil The April, kami sangat setuju kalau semua
cerpen Riana tentang The April akan di terbitkan!” jelas Angga tegas sambil
tersenyum.
Riana
hanya bisa terdiam serta tidak percaya dengan apa yang baru saja dia lihat
“Laki-laki ini sungguh misterius” ucap Riana dalam hati.
Mba
Maya juga memperkenalkan dirinya sambil menyerahkan kartu nama tapi dia harus
pergi sehingga tidak bisa berbicara banyak dengan Angga, jadilah sekarang Riana
dan Angga duduk berseberangan sambil di iringi dengan lagunya The April ‘Tunjuk
Aku’ yang terdengar di dalam cafe.
Tatapan
Angga tertuju serius kepada Riana sedangkan Riana hanya bisa menunduk sambil
bertasbih di dalam hati. Riana sama sekali bingung apa yang harus dia lakukan
pada laki-laki yang ada dihadapannya, haruskah dia mengambil tasnya dan berlari
pergi?
“Maaf”
ucap Angga pelan.
“Maaf
dan terima kasih, Riana!” kata Angga lagi dengan tatapan yang tulus.
“Untuk
apa?” jawab Riana bingung.
“Untuk
semuanya, maaf karena selama ini aku tidak pernah membalas pesan-pesanmu dan
terima kasih selama ini sudah bersedia membuat cerpen tentang The April!”
Riana
dan Angga pun saling tersenyum tanpa kata dan hanya hati mereka saja yang
saling berbicara bahwa akhir kisah ini sudah selesai.
**********
Catatan :
Meskipun semua cerita ini tidak nyata tapi
aku bisa berkhayal dengan imajinasiku, dengan tulisan aku bisa menembus batas
dan waktu tanpa ada halangan dan tanpa perlu izin pada siapapun kecuali pada
Sang Kholiq, Sang pemilik imajinasi Maha karya-NYA yang sangat luar biasa,
tanpa-NYA aku bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Tanpa-NYA aku hanya seorang
hamba yang banyak kekurangan dan dosa, Terima kasih.
Specially
dedicated for :
The
April end TemanSeperjuanganTheApril
Banjarmasin, 01 Mei 2016
Edit : 30 Agustus 2016