Minggu, 19 Februari 2017

Antologi Cerpen 2015



Assalamu’alaikum wr wb
Halowww…
Apa kabar???

Tahun 2015 yang lalu…
Ada beberapa karya CERPEN dan PUISI yang pernah saya ikutkan Lomba Kepenulisan dan…
Sayangnya tidak ada satupun yang menang (***aku yang tak jadi Juaranya… LoL***)
Penasaran????
Cekidot… ^^

ü CERPEN (Cerita Pendek)

Ø Cerpen ke-1
#eventIPM (Ikatan Penulis Muda) 2015

Andai Orangtua Seperti Sahabat
(Just For My Mom)

**Misda Muriana

            “Just for my mom, I write this song, just for my mom, I sing this song, ‘cause just my mom, can wipe my tears, ‘cause just my mom, can only hear”
            Bagi kalian fans beratnya ‘Sheila on 7’ pasti sudah tidak asing lagi dengan kata-kata di atas, di mana kalimat tersebut sebagian dari lagu-lagunya yang sudah majang di album kedua mereka.
            Kalau dipikir-pikir kesannya nyontek punya mereka, tapi perlu di garis bawahi bahwa lagu itu pasti maknanya sangat dalam walaupun tidak tahu apa artinya, Hhihi…
            Sebelum di lanjutkan ceritanya, perkenalkan diri dulu. Namanya Nasya, lengkapnya Nasya Putri Budiman bisa ditebak kalau dia adalah anak perempuan dari pak Budiman. Bapaknya sangat baik, tampan sesuai dengan namanya. Alhamdulillah, Nasya lahir di keluarga yang cukup mengerti tentang agama. Mereka sudah memberikan pemahaman-pemahaman agama yang benar-benar menjelaskan semua hal yang Nasya tanyakan sejak kecil.
            Bunda, berperan penting dalam kehidupan keluarga Nasya sebab beliaulah yang lebih banyak mengerti agama dari pada Ayah. Mulai dari nenek Nasya yang paham sama agama, ditambah seringnya acara-acara keagamaan diadakan di rumah.
            “Bunda, tahun depan bila Nasya lulus boleh tidak minta sesuatu?” tanya Nasya sedikit gugup.
            “Memangnya kamu minta apa sih Sya, kok serius sekali!” jawab Bunda penasaran.
            “Hmm… Nasya mau melanjutkan sekolah sampai perguruan tinggi kayak kak Dimas?” ucap Nasya sambil menunduk.
            Bunda pun hanya tersenyun manis sambil mencium kening Nasya dan memeluknya kemudian berbisik “rajin-rajinlah shalat lima waktu dan shalat malam serta biasakan puasa sunat senin-kamis, semoga yang Nasya cita-citakan akan tercapai” nasehat Bunda.
            Aamiin” jawab Nasya lirih.
**********
           
Alhamdulillah, selamat ya Dek! akhirnya kamu lulus juga dari SMP, padahalkan tingkat kelulusan sekarang sangat rentan sekali kendalanya” ucap kak Dimas bangga.
            “Terima kasih banyak, kak! Alhamdulillah, adek berusaha keras serta berdoa dan ikhtiar seperti yang dikatakan Bunda” jawab Nasya mantap.
            “Dek, sekarang kamu sekolah mau melanjutkan kemana lagi nih? hayo, bentar lagi jadi anak SMA berarti sudah beranjak dewasa”  ucap kak Dimas sambil menepuk pundak Nasya dengan lembut.
             Nasya pun menjawabnya hanya dengan tersenyum manis.

**********

2 tahun waktu telah berlalu, sekarang Nasya sudah masuk SMA dan duduk di kelas 11 menjadi panitia perpisahan kakak tingkatnya.
“Sya! pokoknya kita adain acara perpisahan ini di gedung Sultan Suriansyah, terus bintang tamunya band-band indie yang lagi naik daun” ucap Rita dengan semangat.
“Apa tidak terlalu mahal biayanya, ta? Lebih baik kita manfaatkan fasilitas sekolah, sayangkan lapangan sekolah tidak dipakai lagipula kita punya band sekolah yang selalu menyanyikan lagu-lagu religi” jawab Nasya meyakinkan.
“Biasa aja itu Sya, sekali-kali kita happy fun gpp jugakan. Lagipula kita sudah sering melihat band sekolah manggung di acara-acara penting!” jelas Rita dengan pendapatnya.
“Rita, please deh dengarin aku bentar! ini acara khusus, kamu tahu sendirikan berapa banyak undangan yang akan datang di acara kita? tidak hanya kita saja tapi juga tamu dari sekolah lainnya!” ucap Nasya.
“Nasya, Rita! bagaimana kalau kita rapat saja, dari pada kalian ribut. Lagipula ini acara kita bersama yaitu perpisahan kelas tiga, jadi semua guru dan teman-teman panitia harus ikut berpartisipasi!” saran Sinta yang ikut kesal karena melihat pertengkaran kami.

**********

“Nasya, kamu ada waktu sebentar?” tanya Manda sahabat Nasya yang sudah dekat selama 2 tahun.
“Richard lagi ya?” tebak Nasya sambil memandang lekat mata Manda yang sendu dan Manda pun menjawabnya sambil menundukkan kepalanya.
“Manda, diantara kita bertiga hanya kamu yang paling dekat dengan sosok seorang Mama. Lebih baik kamu terus terang saja sama beliau, mungkin akan dapat jawaban yang kamu butuhkan!” saran Nasya sambil menepuk pundak kanan Manda dengan lembut.
“Tapi Sya, mama bakalan tidak setuju sama pendapatku!” tambah Manda.
“Karena kalian beda agama?” ucap Nasya.
Manda pun menundukkan kepalanya kembali.
“Manda, ada baiknya kita memang harus ikuti semua perkataan Mama sebab setiap ridhonya adalah ridho Allah”.
**********

“Bu Budiman, apa sudah bertemu dengan bu Ratna? dengar-dengar anak perempuannya baru datang dari Arab!” celoteh ibu-ibu yang sedang nongkrong di depan rumah.     
“Oiya, kalau tidak salah anaknya itu yang ikut pertukaran pelajar itu ya?” tebak ibu lain.
“Bukan itu, itu anaknya bu Ranti istrinya pengusaha dodol yang terkenal”.
“Itu lho Bu, anaknya yang ikut jadi TKW (tenaga kerja wanita)” celoteh ibu-ibu yang lain.
“Semenjak anaknya datang dari Arab, rumah bu Ratna tambah bagus lho Bu dan sekarang juga sudah punya mobil sendiri” komentar ibu tetangga sebelah.
Astaghfirullah, koq pada ngerumpi sih Bu, gimana kalau kita latihan rebana saja?” ajak Bunda.
“Oiya Ibu-ibu, anak-anak kitakan sebentar lagi pada mau lulus SMA nih? apa ibu-ibu sudah punya rencana ke depan untuk mereka?” tanya bu Farah tetangga seberang rumah Nasya.
“Hmm… kalau bisa sih anak saya juga pengen kayak anak bu Ratna, siapa tahu bisa merubah keadaan ekonomi keluarga”.
“Lalu, bagaimana dengan Ibu Budiman? Apa juga sudah punya rencana untuk Nasya?” tanya bu Farah.
“Ada sih, Nasya mau melanjutkan kuliah sama seperti kakaknya!”
“Apa tidak terlalu banyak biaya bu? Kuliahkan tidak sedikit uangnya, lagipula suami anda hanya pegawai biasa!” ucap bu Farah blak-blakkan.
Nasya yang mendengar pembicaraan mereka sedari tadi sudah mulai panas, ingin sekali rasanya menemui mereka dan bilang sesuatu.
Astaghfirullah, sabarkanlah hatiku yaa Robb!” ucap Nasya dalam hati.
Alhamdulillah bu, kami punya rezeki Insya Allah Nasya bisa kuliah. Apalagi ilmu itu lebih penting dibandingkan dengan harta” jawab Bunda dengan semangat.
“Yes!” teriakku. “Alhamdulillah, terima kasih ya Allah. Bunda memang yang paling hebat”.
“Nasya!” panggil Bunda. “Ngapain kamu di situ, kamu lagi nguping ya?” tanya Bunda saat masuk rumah tanpa disadari Nasya.
“Ti…ti…dak Bunda, Nasya cuma benarin horden yang jatuh karena ditarik sama kucing” jawab Nasya deg-degan mulai keluar keringat.
“Bunda, ada waktu sebentar? Apa Nasya boleh bicara?”.
“Nanti saja ya, Sya. Bunda mau melanjutkan pekerjaan dulu, kamu lihat sendirikan pesanan jahitan bunda masih menunggu!” ucap Bunda.
“Bunda, minta uang dong? Hari ini ada bayaran untuk uang praktikum sekolah?” pinta Bagas adik kecil Nasya.
            “Lusa saja ya, dek! uang yang adek perlukan belum cukup, uang kiriman untuk kak Dimas juga belum ada dan kalau bisa nunggu ayah datang dari Samarinda dulu” jelas Bunda.
            Nasya pun langsung pergi dari pembicaraan yang mulai menyudutkan dirinya.
            “Bagaimana ini? Apakah keluarga kami sudah mulai miskin? Apakah aku akan di kirim ke arab juga menjadi TKW?” keluh Nasya dalam hati.

**********
           
“Sya, Nasya…” teriak Rita di dekat kupingku.
            “Ada apa sih, ta? Kalau manggil jangan teriak-teriak dong, kupingku kan tidak budek!” ucap Nasya sedikit kesal.
            “Hellow… sudah lebih dari 10x aku memanggil-manggil namamu tapi sedari tadi kamu hanya diam melamun, jadinya terpaksa aku teriak di dekat kupingmu” bela Rita.
            “Nasya, kami sedang membahas tentang acara perpisahan. Apa kamu punya pendapat lain?” tanya Sinta lembut.
            “Hhmm… sebenarnya aku tidak bisa mementingkan pendapat sendiri, sementara teman-teman yang lain punya pendapat yang lebih baik dari padaku. Gimana kalau acara kali ini kita beri nama ‘Party Religius’ di mana dua jenis musik kita gabung menjadi satu. Misalnya pada saat pembukaan, band sekolah kita dulu yang tampil terus di lanjutkan band indie dan yang lebih spesial lagi, kalau bisa kedua band tersebut saling tukaran lagu jadi yang namanya band sekolah tidak harus membawakan lagu-lagu religi saja demikian juga dengan band indie!” jelas Nasya panjang lebar.
            “Selain ajang musik, kita juga ajak adik-adik tingkat untuk membuat atraksi, misalnya membuat kabaret atau teater dan akhir puncaknya baru acara tangis-tangisan” tambah Nasya sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal.
            Dengan sekejap teman-teman yang ada di ruang rapat mulai bertepuk tangan, Nasya pun mulai tersentuh dan bangga tapi itu tidak ada artinya bagi Nasya selain perhatian Bunda.

**********
           
”Bunda, jahitan bu Siska dan bu Yani sudah Nasya antarkan. Cucian juga sudah di jemur dan makan siang juga sudah Nasya siapkan. Gimana kalau kita makan bersama?” ajak Nasya di depan mesin jahit Bunda.
            “Sebentar dulu ya, Sya! masih nanggung nih, tinggal sedikit lagi jahitan yang harus bunda kerjakan” pinta Bunda.
            Rasanya ingin sekali Nasya berada di dekat Bunda dan memeluknya, tapi Nasya takut semua itu tidak ada gunanya. Nasya tahu Bunda banyak masalah, tapi Nasya mau selalu ada di samping Bunda. Menemaninya disaat kesepian, menenangkannya disaat Bunda sedih dan memberikan saran disaat Bunda butuh penjelasan.
            Bunda… bunda, Nasya hanya ingin Bunda tahu perasaan anakmu ini. Nasya juga ingin berbagi cerita bersama Bunda tentang teman-teman, kegiatan di sekolah dan ceritanya Manda serta Rita.
            “Andaikan bisa orangtuaku seperti kedua sahabatku yang selalu menemaniku dalam suka dan duka, andai Bunda seperti sahabatku, andai bisa?” pinta Nasya dalam do’a usai shalat.

**********
           
“Selamat pagi, Sayang!” sapa Bunda sambil masuk kamarku sambil berbisik.
            “Selamat Ulang tahun sayang, selamat ulang tahun untuk kamu!”
            Nasya pun langsung memeluk erat tubuh Bunda, berharap tidak akan pernah lagi jauh darinya.
            “Terima kasih Bunda, terima kasih sudah menjadi Bunda Nasya”.

**********


Catatan :
Sebenarnya cerpen ini adalah tulisan pertama saya yang pernah diikutsertakan dulu di lomba kepenulisan kampus, tapi sayang tidak menang kemudian saya ikutkan kembali di lomba nulis penerbit indie namun, ceritanya sudah diedit atau ada perubahan alur cerita yang berbeda.


Ø Cerpen ke-2
#eventIPM (Ikatan Penulis Muda) 2015

Anugerah Terindah Yang Aku Miliki
**Misda Muriana

Di malam yang dingin aku tertidur ditemani dengan selimut biru yang sudah 5 tahun bersamaku, dihiasi suara hujan serta gemuruh yang tidak mempengaruhi tidurku. Di tengah kegelapan tiba-tiba aku berteriak.
            “Kakak, jangan pergi… jangan tinggalkan Ana!”.
            Sesaat kemudian ibu datang membangunkanku.
            “Ana, kamu kenapa?” panggil ibu.
            “Astaghfirullah!” ucapku saat terbangun dipenuhi dengan keringat.
            “Kamu mimpi lagi ya?” tanya ibu. “Makanya sebelum tidur jangan lupa berdoa” nasehat ibu sambil mengusap keringatku.
            “Bu, maaf… Ana tidak bisa melupakan kakak!”.
            “Sudahlah, ibu tahu itu berat sekali bagimu. Tapi janganlah siksa dirimu sendiri, sebab kakak Iwan telah pergi dengan tenang. Jika almarhum tahu kamu seperti ini, dia pasti akan sedih. Sering-seringlah berdoa supaya dia selalu bahagia di alam sana” nasehat ibu lembut.
            Insya Allah bu, Ana akan selalu mendoakan almarhum kakak”.
            Aku memang sering bermimpi tentang kakak Iwan, sebab sampai sekarang aku masih belum percaya kalau kakak yang aku sayangi telah pergi selama-lamanya dari kehidupan kami.

Tiga tahun lalu, kakak mendapat musibah kecelakaan sehingga masih menyisakan kenangan buruk diingatanku. Karena akulah saksi mata yang melihat peristiwa mengenaskan itu.
            Berapa tahun kemudian pun telah berlalu, Alhamdulillah lama-kelamaan peristiwa itu mulai sirna dari ingatanku. Sekarang aku pun telah menjadi Ana seperti dulu lagi dan menjadi seorang mahasiswi yang kuliah disalah satu perguruan tinggi di kota Banjarmasin.
            Selama kuliah banyak sekali pengalaman baru yang aku temui bersama seorang sahabat yang bersedia berteman denganku tanpa membedakan status.
            Dita adalah seorang anak pengusaha kaya sehingga segala sesuatu yang ia inginkan pasti selalu dengan mudah didapatkannya. Tapi, kenapa ia mau berteman denganku? Itulah yang aku suka dari dirinya, ia tidak pilih-pilih dalam mencari teman, entah itu kaya atau miskin sebab menurutnya semua manusia itu sama di hadapan Tuhan.
            Hari-haripun kami lalui bersama-sama sehingga hubungan kami sangat dekat sekali dan ia sudah seperti saudara perempuan bagiku. Di samping kesibukanku kuliah, aku juga bekerja di sebuah cafe Istiqomah peninggalan almarhum kak Iwan yang sekarang ditangani oleh ibu. Walaupun masih kuliah, aku sangat senang bekerja disini sebab cafe ini bukan sembarang cafe yang menjual makanan serta minuman berjenis tidak halal, melainkan cafe yang mencirikan suasana religi.
            Kebetulan malam ini, aku kerja lembur sebab ada acara selamatan di cafe tersebut. Saat aku mengantarkan makanan ke tempat pengunjung, tiba-tiba aku melihat seorang laki-laki yang wajahnya sangat mirip dengan almarhum kakak Iwan. Sontak aku pun terkejut dan tanpa sengaja makanan tersebut terlepas dari tanganku sehingga terjatuh ke lantai.
            Semua pengunjung di cafe ikut terkejut dan menatap bingung kepadaku sehingga salah seorang dari mereka berjalan mendekatiku dengan wajah kesalnya.
            “Bagaimana sih kamu ini? Jadi pelayan kok gak becus!”  kesal seorang pengunjung wanita yang menggunakan gaun berwarna merah.
            Aku pun tertunduk malu dan meminta maaf, namun laki-laki yang mirip kak Iwan itu membela dan membiarkanku untuk pergi.
            “Sudahlah Dis, jangan emosi. Di sini bukan tempat untuk bertengkar!” ucap laki-laki itu pada wanita bergaun merah yang terlihat begitu akrab.
            Saat di rumah pun, peristiwa itu masih teringat jelas di benakku sehingga menimbulkan beribu banyak pertanyaan.

**********
           
Pagi ini entah ada angin apa aku jadi terlambat masuk kuliah sehingga ketika aku mau masuk ruangan ternyata sudah ada ibu dosen, kemudian wajah aku tundukkan sambil melangkahkan kaki dan menarik napas.
            “Assalamu’alaikum” sapaku.
            “Wa’alaikumsalam wr.wb” sahut teman-teman yang lagi serius memperhatikan mahasiswa baru yang berdiri di depan papan tulis sambil menyelesaikan jawaban statistika.
            “Ana, kenapa kamu datang terlambat?” tanya bu Siska sedikit ketus.
            Teman-teman di ruang kuliah pun mulai bercanda dengan kata-kata aneh mereka.
            “Ana bangun kesiangan karena bermimpi bertemu sang pengeran bu!” teriak Dito yang duduk paling belakang.
            Tawa pun menggema nyaring di seluruh ruangan dan aku hanya bisa tertunduk malu menyaksikan ledekan mereka.
            “Diam semuanya!” bentak ibu. “Ana, sekarang kamu cocoknya diberikan hukuman apa?” tanya ibu sambil memperhatikan wajahku yang sedang merapikan kerudung karena berantakan di terpa angin saat berlari.
            “Ibu, tolong maafkan Ana mungkin ia punya alasan yang tidak bisa dikatakan!” ucap seorang laki-laki yang aku temui saat di cafe semalam sehingga membuat wajahku terpaku ketika melihat wajahnya yang sangat mirip dengan kak Iwan.
            “An, ana… ada apa dengan kamu?” tanya bu Siska.
            “Dia baru melihat pangeran dalam mimpinya bu!” teriak Anto yang duduk disebelah Dito sehingga membuat riuh tawa kembali.

**********
           
Selesai kuliah tanpa sengaja aku menabrak seseorang sehingga membuat buku kami berhamburan di lantai. Aku pun mengambil buku yang terjatuh itu demikian dengan orang tersebut namun dia malah pergi sebelum aku mengucapkan kata maaf.
            Sekarang aku lagi duduk di kantin kampus ditemani segelas jus jeruk dan kentang goreng sambil membuka beberapa buku yang barusan aku pinjam di perpustakaan. Perlahan-lahan aku buka buku tersebut hingga sampai pada halaman terakhir di sana bertuliskan sebuah nama Ivan Al-Rasyid, aku terkejut setelah membaca nama tersebut dan menyadari bahwa buku kami sudah tertukar.
            Lamunanku terhenti ketika Dita datang menghampiri dengan spontan buku tersebut aku tutup.
            “Ana, biar aku tebak… pasti hari ini kamu lagi bahagia?” tanya Dita dihiasi senyuman terindahnya.
            “Bahagia? Bahagia kenapa?”  jawabku dengan ekspresi bingung.
            “Bahagia karena kamu sudah bertemu dengan sang pangeran!” kata Dita dengan semangat.
            “Pangeran? Pangeran dari mana? Dari hongkong?” ucapku dengan nada bercanda.
            “Siapa lagi kalau bukan mahasiswa baru yang bernama Ivan itu!”
            “Owh… jadi namanya Ivan. Kenapa, kamu jealous?”
            “Ya ampun, masa sih sama sahabat sendiri aku cemburu. Jadi, kamu belum tahu kalau namanya Ivan?” ucap Dita sambil mengalihkan pembicaraan.
            “Bilang saja kalau kamu cemburu, iya kan?” ledekku pada Dita yang dibalas hanya dengan senyuman.

**********
           
Saat pulang dari kampus, aku berencana untuk mengembalikan buku yang tertukar tadi. Tapi aku agak sedikit malu sebab teman-teman masih ada duduk di lingkungan kampus kalau ketahuan pasti aku akan diledekin mereka lagi. Akhirnya aku mencoba untuk memberanikan diri, tapi saat aku tiba di parkiran ternyata motornya sudah jauh pergi. Setiba di rumah aku pun membaringkan tubuhku ke atas kasur sambil bertanya di dalam hati.
            “Kenapa? Kenapa sosok laki-laki bernama Ivan itu mengingatkan kembali pada masa laluku? Kenapa ada orang yang wajahnya sangat mirip dengan kakak Iwan? Kenapa peristiwa itu tidak bisa hilang dari ingatanku? Tidak, aku tidak mau mengingat itu semua. Tidak…” teriakku sambil terbangun dari tidur yang ternyata hanya mimpi.
            Jam dinding kamar baru menunjukkan pukul 8 malam, di dalam rumah hanya aku saja sendirian karena Ayah dan Ibu sedang pergi ke rumah Nenek dan mungkin sekitar jam 10 malam mereka baru datang. Aku pun berjalan-jalan sebentar di sekitaran komplek perumahan sambil ke toko roti yang letaknya ada di seberang jalan.
            Di tengah perjalanan tanpa sengaja aku melamun dan tidak menyadari sedari tadi klakson mobil berbunyi kencang di belakangku, saat aku membalikkan badan. Jantungku berdegup kencang, tubuhku bergetar hebat sehingga tidak sanggup untuk bergerak dan lidahku mulai kelu saat ingin berteriak tanpa sengaja mengingatkanku kembali peristiwa tiga tahun lalu dan badanku pun lemah terjatuh di jalan.
            “Kakak Iwan…” ucapku tersadar lemah tanpa sengaja air mata mengalir di kelopak mataku.
            “Kakak Iwan… benarkah ini kakak?” tanyaku sambil menyentuh lembut wajah kakak yang mulus sama seperti dulu.
            “Kenapa kakak meninggalkan Ana? Kenapa kakak tidak bilang akan pergi? Yaa Allah apa ini hanya mimpi?” tanya Ana yang masih berurai dengan air mata.
            “Tidak Dek, ini bukan mimpi!” jawab Ivan sambil tersenyum.
            Suara itu, suara yang sudah lama tidak aku dengar. Suara yang selalu memberikan nasehat, senda gurau untukku dan kini aku merasakan kembali kehadirannya.
            “Ana, Ayah dan Ibu minta maaf kalau selama ini kami tidak pernah terus terang kepadamu. Sebenarnya sejak kecil almarhum kakak Iwan punya saudara kembar bernama Ivan karena sejak kecil sering sakit-sakitan akhirnya kak Ivan harus rawat inap bertahun-tahun di rumah sakit dan tinggal bersama paman Rahman di Singapura” jelas Ayah sambil menahan air matanya.
            Alhamdulillah, puji syukur kepada sang pemilik nyawa. Yaa Allah terima kasih untuk anugerah yang telah KAU berikan. Aku peluk erat mereka berdua dan kakak Ivan yang aku sayangi, berharap jangan pernah pergi lagi dari hidupku.

**********

Catatan :

Sebenarnya tulisan cerita ini judul awalnya bukan seperti yang di atas? Alur ceritanya bahkan beberapa kali dirombak dan beberapa kalinya juga diikutsertakan lomba dengan berbagai versi tapi, lagi-lagi sayang… naskah ceritanya tidak juara ^^ 


Ø Cerpen ke-3
(***naskah ini lupa dulu pernah diikutkan lomba yang mana??*)

Pengagum Rahasia
**Misda Muriana

            Setiap hari frekuensi radio di dalam kamarku selalu berada diangka yang sama yaitu 105,9 FM. Sebuah frekuensi radio kawula muda yang sangat terkenal di kota Banjarmasin. Apalagi saat hari minggu tiba, tidak semenit pun tanganku bergerak untuk mengubah arah frekuensi radio itu dan saat malam hari sekitar jam 8 malam, dia mulai siaran dengan ciri khas suaranya yang sangat aku kenal.
            Aku mengenalnya sudah cukup lama, disaat masih duduk di bangku kelas dua SMA dan gaya suara serta bicaranya sejak saat itu mulai mengalihkan duniaku. Setiap kali dia siaran aku selalu request lagu, alhasil requestanku selalu diputar dan saking bahagianya aku sering jingkrak-jingkrak sendiri di dalam kamar. Tapi, jika requesanku tidak diputar. Rasa kesal itu pasti ada dan kadang-kadang aku sering ngomel-ngomel sendiri tidak jelas. Namun itu tidak berlangsung lama, sebab setiap kali ada jadwal dia siaran, tanganku tidak pernah lepas dari handphone karena tepat jam 8 malam smsku sudah terkirim ke provider yang ada di radio itu.
             Handphone sangat memudahkanku untuk mengenal lebih dekat dengannya, meskipun kami hanya bertemu lewat udara. Sebelum punya handphone aku hanya bisa menggunakan telepon rumah meski hanya sekedar mendengarkan suaranya dan request sebuah lagu, terlihat sangat singkat namun sudah membuat perasaanku melambung bahagia.
            Dia ada dan nyata bagiku, tapi baginya aku hanya seorang penelpon biasa, pendengar setia radio yang sering dia bawakan.
“Radio Voice 105,9 FM in Banjarmasin! selamat malam, kawula muda yang baru saja buka radio kita di sini. Jangan kemana-mana dan tetap stay tuned karena gue bakalan kembali dengan single-single keren!” sapa ka Arya dengan semangat.
            Sebenarnya, jarak rumahku dan station radio tidak terlalu jauh. Hanya memerlukan waktu 10 menit kalau menggunakan sepeda motor dan sekitar 45 menit kalau jalan kaki. Aku bisa saja bersikap seperti pendengar lain yang sering mampir ke studio hanya sekedar kenalan, berteman sambil membawa beberapa cemilan ketika mereka siaran. Tapi, itu bukan aku! aku hanya bisa menatap stasion radio itu saban pagi ketika aku berangkat sekolah.            
            “Hallo, selamat malam. Radio Voice, dari siapa di mana?” tanya ka Arya diseberang telepon.
            Assalamu’alaikum, ka Arya” sapaku
            Wa’alaikumsalam, dari siapa ya?” tanya ka Arya lagi.
            “Dari Nasya di Dahlia!”
            “Dahlia? tetanggaan dong sama radio Voice?”
            “Iya ka Arya!”
            “Oke Nasya, sekarang kamu mau request lagu apa?”
            “Satu Bintang dari Antik Band!” ucapku dengan semangat.

            Percakapan kami pun berakhir dan aku hanya bisa mendengarkan suaranya kembali di dalam radio sambil menyebutkan namaku dan memutarkan permintaan laguku seketika, wajahku tersenyum indah dengan hati yang berbunga-bunga.

********
            Sekarang aku berdiri tepat di sebuah bangunan ruko berlantai dua, aku memarkirkan motor bersebelahan dengan motor berwarna hitam dan aku yakin itu adalah motor dia. Perlahan aku langkahkan kaki sambil mengucapkan Basmallah, dari ruang depan terlihat ada seorang laki-laki yang lagi siaran di dalam sebuah kaca besar transparan lengkap dengan peralatan broadcast dan aku hanya melihatnya dari luar sambil tersenyum.
            Dia tidak menyadari keberadaanku karena dia hanya fokus pada siarannya dan jujur baru kali ini aku datang ke studio penyiaran radio dengan modal nekat dan sedikit tidak tahu malu walau hanya sekedar bertemu dengan pengagum rahasiaku.
            Aku duduk di sebuah kursi panjang yang memang khusus tamu dan tidak berapa lama dia datang menghampiriku dengan senyuman terindahnya kemudian menyapa dan menjabat tanganku.
            Assalamu’alaikum, jadi ini yang namanya Nasya?” tanya ka Arya dengan semangat.
            Wa’alaikumsalam ka Arya, betul saya Nasya, Nasya Maharena!” balasku dengan senyuman yang tak kalah indah.
            Tiba-tiba ada suara mama yang terdengar jelas di telingaku tapi, aku tidak tahu di mana arah suara itu berasal.
            “Nasya… bangun…!” teriak mama di luar kamarku sambil menggedor pintu yang ternyata hanya mimpi.
********
Catatan :
Hhm… kalau cerita kali ni, adalah pengalaman pribadi yang dulu tidak pernah kesampaian dan sekarang hanya sebuah cerita fiksi yang terangkai indah ***kesian… Hhee…