Assalamu’alaikum
wr wb
Halowww…
Apa kabar???
Tahun 2015
yang lalu…
Ada beberapa karya CERPEN dan PUISI
yang pernah saya ikutkan Lomba Kepenulisan dan…
Sayangnya tidak ada satupun yang
menang (***aku yang tak jadi Juaranya…
LoL***)
Penasaran????
Cekidot… ^^
ü
CERPEN (Cerita
Pendek)
Ø
Cerpen
ke-1
#eventIPM (Ikatan Penulis Muda) 2015
Andai
Orangtua Seperti Sahabat
(Just For My
Mom)
**Misda
Muriana
“Just
for my mom, I write this song, just for my mom, I sing this song, ‘cause just
my mom, can wipe my tears, ‘cause just my mom, can only hear”
Bagi kalian fans beratnya ‘Sheila on
7’ pasti sudah tidak asing lagi dengan kata-kata di atas, di mana kalimat
tersebut sebagian dari lagu-lagunya yang sudah majang di album kedua mereka.
Kalau dipikir-pikir kesannya nyontek
punya mereka, tapi perlu di garis bawahi bahwa lagu itu pasti maknanya sangat
dalam walaupun tidak tahu apa artinya, Hhihi…
Sebelum di lanjutkan ceritanya,
perkenalkan diri dulu. Namanya Nasya, lengkapnya Nasya Putri Budiman bisa
ditebak kalau dia adalah anak perempuan dari pak Budiman. Bapaknya sangat baik,
tampan sesuai dengan namanya. Alhamdulillah,
Nasya lahir di keluarga yang cukup mengerti tentang agama. Mereka sudah
memberikan pemahaman-pemahaman agama yang benar-benar menjelaskan semua hal yang
Nasya tanyakan sejak kecil.
Bunda, berperan penting dalam
kehidupan keluarga Nasya sebab beliaulah yang lebih banyak mengerti agama dari
pada Ayah. Mulai dari nenek Nasya yang paham sama agama, ditambah seringnya
acara-acara keagamaan diadakan di rumah.
“Bunda, tahun depan bila Nasya lulus
boleh tidak minta sesuatu?” tanya Nasya sedikit gugup.
“Memangnya kamu minta apa sih Sya,
kok serius sekali!” jawab Bunda penasaran.
“Hmm… Nasya mau melanjutkan sekolah
sampai perguruan tinggi kayak kak Dimas?” ucap Nasya sambil menunduk.
Bunda pun hanya tersenyun manis
sambil mencium kening Nasya dan memeluknya kemudian berbisik “rajin-rajinlah
shalat lima waktu dan shalat malam serta biasakan puasa sunat senin-kamis,
semoga yang Nasya cita-citakan akan tercapai” nasehat Bunda.
“Aamiin”
jawab Nasya lirih.
**********
“Alhamdulillah, selamat ya Dek! akhirnya
kamu lulus juga dari SMP, padahalkan tingkat kelulusan sekarang sangat rentan
sekali kendalanya” ucap kak Dimas bangga.
“Terima kasih banyak, kak! Alhamdulillah, adek berusaha keras serta
berdoa dan ikhtiar seperti yang dikatakan Bunda” jawab Nasya mantap.
“Dek, sekarang kamu sekolah mau
melanjutkan kemana lagi nih? hayo, bentar lagi jadi anak SMA berarti sudah
beranjak dewasa” ucap kak Dimas sambil
menepuk pundak Nasya dengan lembut.
Nasya pun menjawabnya hanya dengan tersenyum
manis.
**********
2
tahun waktu telah berlalu, sekarang Nasya sudah masuk SMA dan duduk di kelas 11
menjadi panitia perpisahan kakak tingkatnya.
“Sya!
pokoknya kita adain acara perpisahan ini di gedung Sultan Suriansyah, terus
bintang tamunya band-band indie yang lagi naik daun” ucap Rita dengan semangat.
“Apa
tidak terlalu mahal biayanya, ta? Lebih baik kita manfaatkan fasilitas sekolah,
sayangkan lapangan sekolah tidak dipakai lagipula kita punya band sekolah yang
selalu menyanyikan lagu-lagu religi” jawab Nasya meyakinkan.
“Biasa
aja itu Sya, sekali-kali kita happy fun gpp jugakan. Lagipula kita sudah sering
melihat band sekolah manggung di acara-acara penting!” jelas Rita dengan
pendapatnya.
“Rita,
please deh dengarin aku bentar! ini acara khusus, kamu tahu sendirikan berapa
banyak undangan yang akan datang di acara kita? tidak hanya kita saja tapi juga
tamu dari sekolah lainnya!” ucap Nasya.
“Nasya,
Rita! bagaimana kalau kita rapat saja, dari pada kalian ribut. Lagipula ini
acara kita bersama yaitu perpisahan kelas tiga, jadi semua guru dan teman-teman
panitia harus ikut berpartisipasi!” saran Sinta yang ikut kesal karena melihat
pertengkaran kami.
**********
“Nasya,
kamu ada waktu sebentar?” tanya Manda sahabat Nasya yang sudah dekat selama 2
tahun.
“Richard
lagi ya?” tebak Nasya sambil memandang lekat mata Manda yang sendu dan Manda
pun menjawabnya sambil menundukkan kepalanya.
“Manda,
diantara kita bertiga hanya kamu yang paling dekat dengan sosok seorang Mama.
Lebih baik kamu terus terang saja sama beliau, mungkin akan dapat jawaban yang
kamu butuhkan!” saran Nasya sambil menepuk pundak kanan Manda dengan lembut.
“Tapi
Sya, mama bakalan tidak setuju sama pendapatku!” tambah Manda.
“Karena
kalian beda agama?” ucap Nasya.
Manda
pun menundukkan kepalanya kembali.
“Manda,
ada baiknya kita memang harus ikuti semua perkataan Mama sebab setiap ridhonya
adalah ridho Allah”.
**********
“Bu
Budiman, apa sudah bertemu dengan bu Ratna? dengar-dengar anak perempuannya
baru datang dari Arab!” celoteh ibu-ibu yang sedang nongkrong di depan rumah.
“Oiya,
kalau tidak salah anaknya itu yang ikut pertukaran pelajar itu ya?” tebak ibu
lain.
“Bukan
itu, itu anaknya bu Ranti istrinya pengusaha dodol yang terkenal”.
“Itu
lho Bu, anaknya yang ikut jadi TKW (tenaga kerja wanita)” celoteh ibu-ibu yang
lain.
“Semenjak
anaknya datang dari Arab, rumah bu Ratna tambah bagus lho Bu dan sekarang juga
sudah punya mobil sendiri” komentar ibu tetangga sebelah.
“Astaghfirullah, koq pada ngerumpi sih
Bu, gimana kalau kita latihan rebana saja?” ajak Bunda.
“Oiya
Ibu-ibu, anak-anak kitakan sebentar lagi pada mau lulus SMA nih? apa ibu-ibu
sudah punya rencana ke depan untuk mereka?” tanya bu Farah tetangga seberang
rumah Nasya.
“Hmm…
kalau bisa sih anak saya juga pengen kayak anak bu Ratna, siapa tahu bisa
merubah keadaan ekonomi keluarga”.
“Lalu,
bagaimana dengan Ibu Budiman? Apa juga sudah punya rencana untuk Nasya?” tanya
bu Farah.
“Ada
sih, Nasya mau melanjutkan kuliah sama seperti kakaknya!”
“Apa
tidak terlalu banyak biaya bu? Kuliahkan tidak sedikit uangnya, lagipula suami
anda hanya pegawai biasa!” ucap bu Farah blak-blakkan.
Nasya
yang mendengar pembicaraan mereka sedari tadi sudah mulai panas, ingin sekali rasanya
menemui mereka dan bilang sesuatu.
“Astaghfirullah, sabarkanlah hatiku yaa
Robb!” ucap Nasya dalam hati.
“Alhamdulillah bu, kami punya rezeki
Insya Allah Nasya bisa kuliah. Apalagi ilmu itu lebih penting dibandingkan
dengan harta” jawab Bunda dengan semangat.
“Yes!”
teriakku. “Alhamdulillah, terima
kasih ya Allah. Bunda memang yang paling hebat”.
“Nasya!”
panggil Bunda. “Ngapain kamu di situ, kamu lagi nguping ya?” tanya Bunda saat
masuk rumah tanpa disadari Nasya.
“Ti…ti…dak
Bunda, Nasya cuma benarin horden yang jatuh karena ditarik sama kucing” jawab
Nasya deg-degan mulai keluar keringat.
“Bunda,
ada waktu sebentar? Apa Nasya boleh bicara?”.
“Nanti
saja ya, Sya. Bunda mau melanjutkan pekerjaan dulu, kamu lihat sendirikan
pesanan jahitan bunda masih menunggu!” ucap Bunda.
“Bunda,
minta uang dong? Hari ini ada bayaran untuk uang praktikum sekolah?” pinta
Bagas adik kecil Nasya.
“Lusa saja ya, dek! uang yang adek
perlukan belum cukup, uang kiriman untuk kak Dimas juga belum ada dan kalau
bisa nunggu ayah datang dari Samarinda dulu” jelas Bunda.
Nasya pun langsung pergi dari
pembicaraan yang mulai menyudutkan dirinya.
“Bagaimana ini? Apakah keluarga kami
sudah mulai miskin? Apakah aku akan di kirim ke arab juga menjadi TKW?” keluh
Nasya dalam hati.
**********
“Sya,
Nasya…” teriak Rita di dekat kupingku.
“Ada apa sih, ta? Kalau manggil
jangan teriak-teriak dong, kupingku kan tidak budek!” ucap Nasya sedikit kesal.
“Hellow… sudah lebih dari 10x aku
memanggil-manggil namamu tapi sedari tadi kamu hanya diam melamun, jadinya
terpaksa aku teriak di dekat kupingmu” bela Rita.
“Nasya, kami sedang membahas tentang
acara perpisahan. Apa kamu punya pendapat lain?” tanya Sinta lembut.
“Hhmm… sebenarnya aku tidak bisa mementingkan
pendapat sendiri, sementara teman-teman yang lain punya pendapat yang lebih
baik dari padaku. Gimana kalau acara kali ini kita beri nama ‘Party Religius’
di mana dua jenis musik kita gabung menjadi satu. Misalnya pada saat pembukaan,
band sekolah kita dulu yang tampil terus di lanjutkan band indie dan yang lebih
spesial lagi, kalau bisa kedua band tersebut saling tukaran lagu jadi yang
namanya band sekolah tidak harus membawakan lagu-lagu religi saja demikian juga
dengan band indie!” jelas Nasya panjang lebar.
“Selain ajang musik, kita juga ajak
adik-adik tingkat untuk membuat atraksi, misalnya membuat kabaret atau teater
dan akhir puncaknya baru acara tangis-tangisan” tambah Nasya sambil garuk-garuk
kepala yang tidak gatal.
Dengan sekejap teman-teman yang ada
di ruang rapat mulai bertepuk tangan, Nasya pun mulai tersentuh dan bangga tapi
itu tidak ada artinya bagi Nasya selain perhatian Bunda.
**********
”Bunda,
jahitan bu Siska dan bu Yani sudah Nasya antarkan. Cucian juga sudah di jemur
dan makan siang juga sudah Nasya siapkan. Gimana kalau kita makan bersama?”
ajak Nasya di depan mesin jahit Bunda.
“Sebentar dulu ya, Sya! masih
nanggung nih, tinggal sedikit lagi jahitan yang harus bunda kerjakan” pinta
Bunda.
Rasanya ingin sekali Nasya berada di
dekat Bunda dan memeluknya, tapi Nasya takut semua itu tidak ada gunanya. Nasya
tahu Bunda banyak masalah, tapi Nasya mau selalu ada di samping Bunda.
Menemaninya disaat kesepian, menenangkannya disaat Bunda sedih dan memberikan
saran disaat Bunda butuh penjelasan.
Bunda… bunda, Nasya hanya ingin
Bunda tahu perasaan anakmu ini. Nasya juga ingin berbagi cerita bersama Bunda
tentang teman-teman, kegiatan di sekolah dan ceritanya Manda serta Rita.
“Andaikan bisa orangtuaku seperti
kedua sahabatku yang selalu menemaniku dalam suka dan duka, andai Bunda seperti
sahabatku, andai bisa?” pinta Nasya dalam do’a usai shalat.
**********
“Selamat
pagi, Sayang!” sapa Bunda sambil masuk kamarku sambil berbisik.
“Selamat Ulang tahun sayang, selamat
ulang tahun untuk kamu!”
Nasya pun langsung memeluk erat
tubuh Bunda, berharap tidak akan pernah lagi jauh darinya.
“Terima kasih Bunda, terima kasih
sudah menjadi Bunda Nasya”.
**********
Catatan :
Sebenarnya
cerpen ini adalah tulisan pertama saya yang pernah diikutsertakan dulu di lomba
kepenulisan kampus, tapi sayang tidak menang kemudian saya ikutkan kembali di
lomba nulis penerbit indie namun, ceritanya sudah diedit atau ada perubahan
alur cerita yang berbeda.
Ø
Cerpen
ke-2
#eventIPM (Ikatan Penulis Muda) 2015
Anugerah
Terindah Yang Aku Miliki
**Misda
Muriana
Di
malam yang dingin aku tertidur ditemani dengan selimut biru yang sudah 5 tahun
bersamaku, dihiasi suara hujan serta gemuruh yang tidak mempengaruhi tidurku.
Di tengah kegelapan tiba-tiba aku berteriak.
“Kakak, jangan pergi… jangan
tinggalkan Ana!”.
Sesaat kemudian ibu datang
membangunkanku.
“Ana, kamu kenapa?” panggil ibu.
“Astaghfirullah!”
ucapku saat terbangun dipenuhi dengan keringat.
“Kamu mimpi lagi ya?” tanya ibu.
“Makanya sebelum tidur jangan lupa berdoa” nasehat ibu sambil mengusap
keringatku.
“Bu, maaf… Ana tidak bisa melupakan
kakak!”.
“Sudahlah, ibu tahu itu berat sekali
bagimu. Tapi janganlah siksa dirimu sendiri, sebab kakak Iwan telah pergi
dengan tenang. Jika almarhum tahu
kamu seperti ini, dia pasti akan sedih. Sering-seringlah berdoa supaya dia
selalu bahagia di alam sana” nasehat ibu lembut.
“Insya
Allah bu, Ana akan selalu mendoakan almarhum
kakak”.
Aku memang sering bermimpi tentang
kakak Iwan, sebab sampai sekarang aku masih belum percaya kalau kakak yang aku
sayangi telah pergi selama-lamanya dari kehidupan kami.
Tiga
tahun lalu, kakak mendapat musibah kecelakaan sehingga masih menyisakan
kenangan buruk diingatanku. Karena akulah saksi mata yang melihat peristiwa
mengenaskan itu.
Berapa tahun kemudian pun telah
berlalu, Alhamdulillah lama-kelamaan
peristiwa itu mulai sirna dari ingatanku. Sekarang aku pun telah menjadi Ana
seperti dulu lagi dan menjadi seorang mahasiswi yang kuliah disalah satu
perguruan tinggi di kota Banjarmasin.
Selama kuliah banyak sekali
pengalaman baru yang aku temui bersama seorang sahabat yang bersedia berteman
denganku tanpa membedakan status.
Dita adalah seorang anak pengusaha
kaya sehingga segala sesuatu yang ia inginkan pasti selalu dengan mudah
didapatkannya. Tapi, kenapa ia mau berteman denganku? Itulah yang aku suka dari
dirinya, ia tidak pilih-pilih dalam mencari teman, entah itu kaya atau miskin
sebab menurutnya semua manusia itu sama di hadapan Tuhan.
Hari-haripun kami lalui bersama-sama
sehingga hubungan kami sangat dekat sekali dan ia sudah seperti saudara
perempuan bagiku. Di samping kesibukanku kuliah, aku juga bekerja di sebuah
cafe Istiqomah peninggalan almarhum kak Iwan yang sekarang ditangani
oleh ibu. Walaupun masih kuliah, aku sangat senang bekerja disini sebab cafe
ini bukan sembarang cafe yang menjual makanan serta minuman berjenis tidak
halal, melainkan cafe yang mencirikan suasana religi.
Kebetulan malam ini, aku kerja
lembur sebab ada acara selamatan di cafe tersebut. Saat aku mengantarkan
makanan ke tempat pengunjung, tiba-tiba aku melihat seorang laki-laki yang
wajahnya sangat mirip dengan almarhum
kakak Iwan. Sontak aku pun terkejut dan tanpa sengaja makanan tersebut terlepas
dari tanganku sehingga terjatuh ke lantai.
Semua pengunjung di cafe ikut
terkejut dan menatap bingung kepadaku sehingga salah seorang dari mereka
berjalan mendekatiku dengan wajah kesalnya.
“Bagaimana sih kamu ini? Jadi
pelayan kok gak becus!” kesal seorang
pengunjung wanita yang menggunakan gaun berwarna merah.
Aku pun tertunduk malu dan meminta
maaf, namun laki-laki yang mirip kak Iwan itu membela dan membiarkanku untuk
pergi.
“Sudahlah Dis, jangan emosi. Di sini
bukan tempat untuk bertengkar!” ucap laki-laki itu pada wanita bergaun merah
yang terlihat begitu akrab.
Saat di rumah pun, peristiwa itu
masih teringat jelas di benakku sehingga menimbulkan beribu banyak pertanyaan.
**********
Pagi
ini entah ada angin apa aku jadi terlambat masuk kuliah sehingga ketika aku mau
masuk ruangan ternyata sudah ada ibu dosen, kemudian wajah aku tundukkan sambil
melangkahkan kaki dan menarik napas.
“Assalamu’alaikum”
sapaku.
“Wa’alaikumsalam
wr.wb” sahut teman-teman yang lagi serius memperhatikan mahasiswa baru yang
berdiri di depan papan tulis sambil menyelesaikan jawaban statistika.
“Ana, kenapa kamu datang terlambat?”
tanya bu Siska sedikit ketus.
Teman-teman di ruang kuliah pun
mulai bercanda dengan kata-kata aneh mereka.
“Ana bangun kesiangan karena
bermimpi bertemu sang pengeran bu!” teriak Dito yang duduk paling belakang.
Tawa pun menggema nyaring di seluruh
ruangan dan aku hanya bisa tertunduk malu menyaksikan ledekan mereka.
“Diam semuanya!” bentak ibu. “Ana,
sekarang kamu cocoknya diberikan hukuman apa?” tanya ibu sambil memperhatikan
wajahku yang sedang merapikan kerudung karena berantakan di terpa angin saat
berlari.
“Ibu, tolong maafkan Ana mungkin ia
punya alasan yang tidak bisa dikatakan!” ucap seorang laki-laki yang aku temui
saat di cafe semalam sehingga membuat wajahku terpaku ketika melihat wajahnya
yang sangat mirip dengan kak Iwan.
“An, ana… ada apa dengan kamu?”
tanya bu Siska.
“Dia baru melihat pangeran dalam
mimpinya bu!” teriak Anto yang duduk disebelah Dito sehingga membuat riuh tawa
kembali.
**********
Selesai
kuliah tanpa sengaja aku menabrak seseorang sehingga membuat buku kami
berhamburan di lantai. Aku pun mengambil buku yang terjatuh itu demikian dengan
orang tersebut namun dia malah pergi sebelum aku mengucapkan kata maaf.
Sekarang aku lagi duduk di kantin
kampus ditemani segelas jus jeruk dan kentang goreng sambil membuka beberapa
buku yang barusan aku pinjam di perpustakaan. Perlahan-lahan aku buka buku
tersebut hingga sampai pada halaman terakhir di sana bertuliskan sebuah nama Ivan Al-Rasyid, aku terkejut setelah
membaca nama tersebut dan menyadari bahwa buku kami sudah tertukar.
Lamunanku terhenti ketika Dita
datang menghampiri dengan spontan buku tersebut aku tutup.
“Ana, biar aku tebak… pasti hari ini
kamu lagi bahagia?” tanya Dita dihiasi senyuman terindahnya.
“Bahagia? Bahagia kenapa?” jawabku dengan ekspresi bingung.
“Bahagia karena kamu sudah bertemu
dengan sang pangeran!” kata Dita dengan semangat.
“Pangeran? Pangeran dari mana? Dari
hongkong?” ucapku dengan nada bercanda.
“Siapa lagi kalau bukan mahasiswa
baru yang bernama Ivan itu!”
“Owh… jadi namanya Ivan. Kenapa,
kamu jealous?”
“Ya ampun, masa sih sama sahabat
sendiri aku cemburu. Jadi, kamu belum tahu kalau namanya Ivan?” ucap Dita
sambil mengalihkan pembicaraan.
“Bilang saja kalau kamu cemburu, iya
kan?” ledekku pada Dita yang dibalas hanya dengan senyuman.
**********
Saat
pulang dari kampus, aku berencana untuk mengembalikan buku yang tertukar tadi.
Tapi aku agak sedikit malu sebab teman-teman masih ada duduk di lingkungan kampus
kalau ketahuan pasti aku akan diledekin mereka lagi. Akhirnya aku mencoba untuk
memberanikan diri, tapi saat aku tiba di parkiran ternyata motornya sudah jauh
pergi. Setiba di rumah aku pun membaringkan tubuhku ke atas kasur sambil
bertanya di dalam hati.
“Kenapa? Kenapa sosok laki-laki
bernama Ivan itu mengingatkan kembali pada masa laluku? Kenapa ada orang yang
wajahnya sangat mirip dengan kakak Iwan? Kenapa peristiwa itu tidak bisa hilang
dari ingatanku? Tidak, aku tidak mau mengingat itu semua. Tidak…” teriakku
sambil terbangun dari tidur yang ternyata hanya mimpi.
Jam dinding kamar baru menunjukkan
pukul 8 malam, di dalam rumah hanya aku saja sendirian karena Ayah dan Ibu
sedang pergi ke rumah Nenek dan mungkin sekitar jam 10 malam mereka baru datang.
Aku pun berjalan-jalan sebentar di sekitaran komplek perumahan sambil ke toko
roti yang letaknya ada di seberang jalan.
Di tengah perjalanan tanpa sengaja
aku melamun dan tidak menyadari sedari tadi klakson mobil berbunyi kencang di
belakangku, saat aku membalikkan badan. Jantungku berdegup kencang, tubuhku
bergetar hebat sehingga tidak sanggup untuk bergerak dan lidahku mulai kelu
saat ingin berteriak tanpa sengaja mengingatkanku kembali peristiwa tiga tahun
lalu dan badanku pun lemah terjatuh di jalan.
“Kakak Iwan…” ucapku tersadar lemah
tanpa sengaja air mata mengalir di kelopak mataku.
“Kakak Iwan… benarkah ini kakak?”
tanyaku sambil menyentuh lembut wajah kakak yang mulus sama seperti dulu.
“Kenapa kakak meninggalkan Ana?
Kenapa kakak tidak bilang akan pergi? Yaa
Allah apa ini hanya mimpi?” tanya Ana yang masih berurai dengan air mata.
“Tidak Dek, ini bukan mimpi!” jawab
Ivan sambil tersenyum.
Suara itu, suara yang sudah lama
tidak aku dengar. Suara yang selalu memberikan nasehat, senda gurau untukku dan
kini aku merasakan kembali kehadirannya.
“Ana, Ayah dan Ibu minta maaf kalau
selama ini kami tidak pernah terus terang kepadamu. Sebenarnya sejak kecil almarhum kakak Iwan punya saudara kembar
bernama Ivan karena sejak kecil sering sakit-sakitan akhirnya kak Ivan harus
rawat inap bertahun-tahun di rumah sakit dan tinggal bersama paman Rahman di
Singapura” jelas Ayah sambil menahan air matanya.
Alhamdulillah,
puji syukur kepada sang pemilik nyawa. Yaa Allah terima kasih untuk anugerah
yang telah KAU berikan. Aku peluk erat mereka berdua dan kakak Ivan yang aku
sayangi, berharap jangan pernah pergi lagi dari hidupku.
**********
Catatan
:
Sebenarnya
tulisan cerita ini judul awalnya bukan seperti yang di atas? Alur ceritanya
bahkan beberapa kali dirombak dan beberapa kalinya juga diikutsertakan lomba
dengan berbagai versi tapi, lagi-lagi sayang… naskah ceritanya tidak juara ^^
Ø
Cerpen
ke-3
(***naskah
ini lupa dulu pernah diikutkan lomba yang mana??*)
Pengagum
Rahasia
**Misda
Muriana
Setiap
hari frekuensi radio di dalam kamarku selalu berada diangka yang sama yaitu 105,9
FM. Sebuah frekuensi radio kawula muda yang sangat terkenal di kota
Banjarmasin. Apalagi saat hari minggu tiba, tidak semenit pun tanganku bergerak
untuk mengubah arah frekuensi radio itu dan saat malam hari sekitar jam 8
malam, dia mulai siaran dengan ciri khas suaranya yang sangat aku kenal.
Aku
mengenalnya sudah cukup lama, disaat masih duduk di bangku kelas dua SMA dan
gaya suara serta bicaranya sejak saat itu mulai mengalihkan duniaku. Setiap
kali dia siaran aku selalu request lagu, alhasil requestanku selalu diputar dan
saking bahagianya aku sering jingkrak-jingkrak sendiri di dalam kamar. Tapi,
jika requesanku tidak diputar. Rasa kesal itu pasti ada dan kadang-kadang aku
sering ngomel-ngomel sendiri tidak jelas. Namun itu tidak berlangsung lama,
sebab setiap kali ada jadwal dia siaran, tanganku tidak pernah lepas dari
handphone karena tepat jam 8 malam smsku sudah terkirim ke provider yang ada di
radio itu.
Handphone sangat memudahkanku untuk mengenal
lebih dekat dengannya, meskipun kami hanya bertemu lewat udara. Sebelum punya
handphone aku hanya bisa menggunakan telepon rumah meski hanya sekedar
mendengarkan suaranya dan request sebuah lagu, terlihat sangat singkat namun
sudah membuat perasaanku melambung bahagia.
Dia
ada dan nyata bagiku, tapi baginya aku hanya seorang penelpon biasa, pendengar
setia radio yang sering dia bawakan.
“Radio
Voice 105,9 FM in Banjarmasin! selamat malam, kawula muda yang baru saja buka
radio kita di sini. Jangan kemana-mana dan tetap stay tuned karena gue bakalan
kembali dengan single-single keren!” sapa ka Arya dengan semangat.
Sebenarnya,
jarak rumahku dan station radio tidak terlalu jauh. Hanya memerlukan waktu 10
menit kalau menggunakan sepeda motor dan sekitar 45 menit kalau jalan kaki. Aku
bisa saja bersikap seperti pendengar lain yang sering mampir ke studio hanya
sekedar kenalan, berteman sambil membawa beberapa cemilan ketika mereka siaran.
Tapi, itu bukan aku! aku hanya bisa menatap stasion radio itu saban pagi ketika
aku berangkat sekolah.
“Hallo,
selamat malam. Radio Voice, dari siapa di mana?” tanya ka Arya diseberang telepon.
“Assalamu’alaikum, ka Arya” sapaku
“Wa’alaikumsalam, dari siapa ya?” tanya
ka Arya lagi.
“Dari
Nasya di Dahlia!”
“Dahlia?
tetanggaan dong sama radio Voice?”
“Iya
ka Arya!”
“Oke
Nasya, sekarang kamu mau request lagu apa?”
“Satu
Bintang dari Antik Band!” ucapku dengan semangat.
Percakapan
kami pun berakhir dan aku hanya bisa mendengarkan suaranya kembali di dalam
radio sambil menyebutkan namaku dan memutarkan permintaan laguku seketika,
wajahku tersenyum indah dengan hati yang berbunga-bunga.
********
Sekarang
aku berdiri tepat di sebuah bangunan ruko berlantai dua, aku memarkirkan motor
bersebelahan dengan motor berwarna hitam dan aku yakin itu adalah motor dia.
Perlahan aku langkahkan kaki sambil mengucapkan Basmallah, dari ruang depan terlihat ada seorang laki-laki yang
lagi siaran di dalam sebuah kaca besar transparan lengkap dengan peralatan
broadcast dan aku hanya melihatnya dari luar sambil tersenyum.
Dia
tidak menyadari keberadaanku karena dia hanya fokus pada siarannya dan jujur
baru kali ini aku datang ke studio penyiaran radio dengan modal nekat dan
sedikit tidak tahu malu walau hanya sekedar bertemu dengan pengagum rahasiaku.
Aku
duduk di sebuah kursi panjang yang memang khusus tamu dan tidak berapa lama dia
datang menghampiriku dengan senyuman terindahnya kemudian menyapa dan menjabat
tanganku.
“Assalamu’alaikum, jadi ini yang namanya
Nasya?” tanya ka Arya dengan semangat.
“Wa’alaikumsalam ka Arya, betul saya
Nasya, Nasya Maharena!” balasku dengan senyuman yang tak kalah indah.
Tiba-tiba
ada suara mama yang terdengar jelas di telingaku tapi, aku tidak tahu di mana
arah suara itu berasal.
“Nasya…
bangun…!” teriak mama di luar kamarku sambil menggedor pintu yang ternyata
hanya mimpi.
********
Catatan :
Hhm… kalau cerita kali
ni, adalah pengalaman pribadi yang dulu tidak pernah kesampaian dan sekarang
hanya sebuah cerita fiksi yang terangkai indah ***kesian… Hhee…